Skema Grunge sebetulnya sudah tidak
asing bagi dunia saat ini. Muncul pertama kali pada tahun 1989 ketika
Sub Pop Record mengeluarkan album grunge pertama yang berbentuk
kompilasi bernama Deep Six dengan band-band andalan macam Green River
(kemudian berubah nama menjadi Mudhoney –red), Malfunkshun, Mother Love
Bone, dan lain-lain, yang merupakan pionir era grunge pertama. Sebutan
grunge pun pertama kali terucap dari mulut Mark Arm (Green
River/Mudhoney). Istilah tersebut diartikan olehnya sebagai musik yang
“kotor”, sesuai dengan makna dari bebunyian yang diusung band-band
grunge tersebut: fuzz, overdrive dan feedback pada gitar. Drum dengan sound
berat dicampur beat-beat heavy metal dan punk serta suara bass yang
bulat. Namun, tak jarang pada suatu sesi lain kita disuguhkan musik yang
low tempo ala country, new wave, ballad, blues serta pop yang
terkesan agak manis. Hanya saja liriknya lebih sering bertema tentang
kekelaman, depresi, broken home dan segala kemuakan para generasi X, terutama pada lingkungannya. Kebalikan dari etos pop yang manis.
Kemudian pada tahun 1991, Nirvana menggebrak dunia dalam kancah mainstream
dengan album Nevermind yang merupakan album grunge terlaris sepanjang
masa dan menghantarkan Kurt Donald Cobain, gitaris dan vokalis Nirvana
tersebut, ke dalam predikat The Father Of Grunge. Nirvana sukses
menyingkirkan budaya pop dan hair metal serta banyak yang percaya bahwa
mereka sukses menggantikan kepopuleran punk di mana pada tahun 90an
subkultur punk mengalami miskonsepsi massa besar-besaran terhadap root
sejatinya (baca: kebebasan berekspresi atau independen -red). Apa yang
dianut oleh para begundal musik punk macam Sex Pistols, The Clash,
bahkan Sham 69 pada lini skinhead tidak mampu meredam keinginan massa untuk ber-fashion
yang akhirnya hanya dijadikan kepentingan komoditas pasar untuk
keuntungan perusahaan-perusahaan barang jadi dan industri rekaman
kapital musik besar macam E.M.I, Universal, Epitaph, dan lain-lain.
Adapun root sejati dari grunge tak jauh berbeda dengan asal muasal munculnya subkultur punk. Dengan slogan Do It Yourself, sebagian musisi grunge lebih tertarik untuk mendistribusikan kaset-kasetnya secara indie. Mereka adalah sebagian yang tidak mau terikat aturan, namun lebih banyak kendala yang dihadapi seperti kurangnya modal untuk usaha penjualan kaset-kaset, gigs dengan publikasi seadanya sehingga mayoritas info hanya tersebar untuk suatu komunitas tertentu.
Kita tidak sedang membicarakan bagaimana cara untuk cepat terkenal, melainkan bagaimana revolusi musik itu bisa terjadi. Banyak perusahaan rekaman besar yang mengorbitkan musisi-musisi dengan skill yang bagus namun kebanyakan musisi-musisi tersebut hanya berkutat dalam satu sektor penjualan pasar dan jarang mengindahkan kaidah musik yang jujur. Kompetitif memang perlu, namun masyarakat akan cepat bosan dengan segmen yang sama secara terus menerus.
Adapun embrio grunge tanah air sudah muncul bersamaan ketika Nirvana mem-booming. Band grunge Indonesia generasi pertama seperti Toilet Sound sudah cukup dikenal di mana-mana, mereka pun muncul bersamaan dengan generasi underground Indonesia pertama macam Rumah Sakit yang sering tampil di Poster Cafe pada tahun 90an. Dan band-band grunge dari berbagai daerah kecil maupun besar seperti Daily Feedback, Navicula, Slum, Cupumanik, The Bolong, Moonshine (kini bernama Mushafear -red), Klepto Opera (kini bernama Ballerina's Killer -red) dan lain-lain, masih setia memainkan musik grunge hingga saat ini.
Pada tahun 2010, berbagai gigs grunge di Indonesia dapat kita temui hampir satu minggu sekali di mana-mana. Bukti bahwa grunge tidak akan pernah pudar terutama jika budaya pop mengancam untuk menguasai industri musik kembali. Akhir-akhir ini industri musik dan masyarakat sedang mengalami kesenjangan akibat terciumnya sifat pilih kasih di dalam tubuh para penguasa modal industri musik. Dari opini masyarakat, mayoritas mereka bosan dengan apa yang diberikan oleh media dan perusahaan rekaman. Tetapi anehnya band-band yang jadi jawara adalah band-band yang mendadak orbitan dengan segmen yang sama pula. Kita seperti dibawa kepada saat-saat Amerika bosan dengan musik pop 80an. Dan negara Amerika pun mengalami revolusi besar-besaran ketika Nirvana dan grunge menginvasi media.
Lalu, untuk apakah sebuah revolusi jika pada suatu saat nanti identitas pemberontakan menjadi kepentingan komoditi? Kita lihat Nirvana sendiri dari yang asalnya sebuah band pemberontak menjadi sebuah band yang ‘layak’ jual sehingga penanaman budaya pada generasi muda hanya seputar : “kalau mau terkenal harus mirip Nirvana”, dan lain-lain. Maka kita akan melihat betapa sebuah band alternatif hanyalah sebuah band dengan figur palsu yang telah mencomot ide-ide yang sudah ada sebelumnya serta plagiator. Ini juga termasuk segmen yang sama, segmen yang akan membuat kita semua justru menjadi muak dan bosan. Sedangkan, dalam revolusi manapun kita memerlukan sebuah figur baru yang menjadi ikon, menjadi wakil dalam generasi X. Namun demikian, revolusi pun suatu saat akan mati ketika sang figur baru telah menjadi komoditi pasar. Dan inilah yang akan menjadi awal sebuah revolusi baru lagi di masa depan yang akan terus menerus berlanjut sampai entah kapan. (*)
Adapun root sejati dari grunge tak jauh berbeda dengan asal muasal munculnya subkultur punk. Dengan slogan Do It Yourself, sebagian musisi grunge lebih tertarik untuk mendistribusikan kaset-kasetnya secara indie. Mereka adalah sebagian yang tidak mau terikat aturan, namun lebih banyak kendala yang dihadapi seperti kurangnya modal untuk usaha penjualan kaset-kaset, gigs dengan publikasi seadanya sehingga mayoritas info hanya tersebar untuk suatu komunitas tertentu.
Kita tidak sedang membicarakan bagaimana cara untuk cepat terkenal, melainkan bagaimana revolusi musik itu bisa terjadi. Banyak perusahaan rekaman besar yang mengorbitkan musisi-musisi dengan skill yang bagus namun kebanyakan musisi-musisi tersebut hanya berkutat dalam satu sektor penjualan pasar dan jarang mengindahkan kaidah musik yang jujur. Kompetitif memang perlu, namun masyarakat akan cepat bosan dengan segmen yang sama secara terus menerus.
Adapun embrio grunge tanah air sudah muncul bersamaan ketika Nirvana mem-booming. Band grunge Indonesia generasi pertama seperti Toilet Sound sudah cukup dikenal di mana-mana, mereka pun muncul bersamaan dengan generasi underground Indonesia pertama macam Rumah Sakit yang sering tampil di Poster Cafe pada tahun 90an. Dan band-band grunge dari berbagai daerah kecil maupun besar seperti Daily Feedback, Navicula, Slum, Cupumanik, The Bolong, Moonshine (kini bernama Mushafear -red), Klepto Opera (kini bernama Ballerina's Killer -red) dan lain-lain, masih setia memainkan musik grunge hingga saat ini.
Pada tahun 2010, berbagai gigs grunge di Indonesia dapat kita temui hampir satu minggu sekali di mana-mana. Bukti bahwa grunge tidak akan pernah pudar terutama jika budaya pop mengancam untuk menguasai industri musik kembali. Akhir-akhir ini industri musik dan masyarakat sedang mengalami kesenjangan akibat terciumnya sifat pilih kasih di dalam tubuh para penguasa modal industri musik. Dari opini masyarakat, mayoritas mereka bosan dengan apa yang diberikan oleh media dan perusahaan rekaman. Tetapi anehnya band-band yang jadi jawara adalah band-band yang mendadak orbitan dengan segmen yang sama pula. Kita seperti dibawa kepada saat-saat Amerika bosan dengan musik pop 80an. Dan negara Amerika pun mengalami revolusi besar-besaran ketika Nirvana dan grunge menginvasi media.
Lalu, untuk apakah sebuah revolusi jika pada suatu saat nanti identitas pemberontakan menjadi kepentingan komoditi? Kita lihat Nirvana sendiri dari yang asalnya sebuah band pemberontak menjadi sebuah band yang ‘layak’ jual sehingga penanaman budaya pada generasi muda hanya seputar : “kalau mau terkenal harus mirip Nirvana”, dan lain-lain. Maka kita akan melihat betapa sebuah band alternatif hanyalah sebuah band dengan figur palsu yang telah mencomot ide-ide yang sudah ada sebelumnya serta plagiator. Ini juga termasuk segmen yang sama, segmen yang akan membuat kita semua justru menjadi muak dan bosan. Sedangkan, dalam revolusi manapun kita memerlukan sebuah figur baru yang menjadi ikon, menjadi wakil dalam generasi X. Namun demikian, revolusi pun suatu saat akan mati ketika sang figur baru telah menjadi komoditi pasar. Dan inilah yang akan menjadi awal sebuah revolusi baru lagi di masa depan yang akan terus menerus berlanjut sampai entah kapan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar