Sabtu, 18 Juni 2011 — Jika kita terbiasa dengan
kabar di kota-kota lain PKL ( Pedagang Kaki Lima ) dikejar-kejar dan
menjadi obyek penggusuran Satuan Polisi Pamong Praja, di Solo
sebaliknya. Sebelum direlokasi, para pedagang diajak berdialog. Jokowi
(Joko Widodo) dan Wakil Wali Kota FX Hadi Rudyatmo tak hanya satu-dua
kali berdialog, tetapi sampai puluhan kali bertemu para PKL.
Kata Jokowi (Joko Widodo), tugas pemerintah memberi ruang kepada pedagang kecil untuk maju, bukan menggusur mereka. ”Pemimpin yang baik adalah yang mengikuti keinginan orang yang dipimpinnya,”
katanya. Latar belakang sebagai pengusaha membuat cara pandang dia
terhadap pedagang berbeda. Ketika menjadi wali kota, salah satu
obsesinya adalah mengangkat status PKL menjadi saudagar.
Joko Widodo adalah sosok sederhana dan membela kesederhanaan. Tanpa
banyak mengumbar kata, dia memberi teladan. Tanpa banyak retorika, dia
melakukan gebrakan. Toh, kesederhanaan itu pula yang membuat dia
berhasil memimpin Kota Solo, Jawa Tengah.
Bagi Joko Widodo,kesederhanaan merupakan bagian dari gaya
kepemimpinannya. Tiap orang boleh beda, tapi leader dan leadership,
menurut dia,merupakan dua hal yang menentukan lemah kuatnya seorang
pemimpin daerah,bahkan negara.Berikut petikan wawancara dengan sosok
yang akrab disapa Jokowi itu di Jakarta,Rabu, (15/6):
Sebelum menjadi wali kota, sebagai warga Solo,Anda melihat masalah apa yang dihadapi kota ini?
Saya tidak tahu. Tapi,yang saya lihat curve-nya turun. Artinya,saya
melihat kota ini secara umum tidak tambah baik, tapi tambah tidak baik.
Dan itu terbukti ketika saya masuk (menjadi wali kota).
Bidang apa yang paling terpuruk waktu itu?
Kalau saya,yang kelihatan mata, ya di penataan kota. Kedua,di
penataan di birokrasi. PNS kita ini pintar pintar. Lurah, kepala seksi
(bergelar) master-master semua. Tapi, kalau leader-nya tidak bisa
menggerakkan organisasi, tidak ngerti masalah, manajemen organisasi, ya
bagaimana menggerakkan orang? Tidak bisa.
Anda belajar manajemen organisasi dari mana?
Saya tidak pernah belajar. Belajarnya nukang… hahaha !
Begitu tahu banyak permasalahan, pendekatan apa yang digunakan untuk menyelesaikan?
Kesederhanaan dalam apa pun. Artinya,sederhana dalam menerapkan
kebijakan. Simple. Jangan yang sederhana dijadikan ruwet. Sekarang kan
banyak yang sebenarnya sederhana, tapi dijadikan ruwet. Harusnya kan
yang ruwet dijadikan sederhana. Banyak, banyak sekali kalau mau
dicarikan contoh.
Salah satu terobosan inovatif dan berhasil yang Anda lakukan adalah menata PKL. Apa kuncinya?
Mindset memang harus berubah dulu. Kita itu kalau sudah
bicara investor,selalu bicara triliun, berbicara asing, berbicara yang
gede-gede terus. Padahal, itu yang namanya usaha mikro, PKL, warung,
juga investor. Tapi, skalanya sangat mikro. Dia itu (PKL,usaha mikro)
yang mengangkut banyak tenaga kerja. Sehingga selalu saya katakan,
perhatian khusus yang amat sangat dari pemerintah baik pusat maupun
daerah, harusnya ke sana.
PKL hampir selalu diidentikkan dengan permasalahan kota yang sangat sulit diatasi. Bagaimana Anda menilainya?
Kalau yang memandang PKL menjadikan kumuh kota, mengotori kota, itu
karena tidak diberi ruang dalam sebuah city planning. Coba lihat di
semua kota, ruang untuk PKL itu di mana? Kalau hypermarket,
supermarket, mal diberi, kenapa mereka tidak? Itulah kekeliruan di
perencanaan kota, sehingga mereka bertebaran di trotoar karena tidak
diberi ruang. Yang menjadi kewajiban pemerintah di situ.
Anda mengerem masuknya investor berskala besar. Apa tidak mendapat tekanan?
Tekanan politik, ekonomi, banyak. Ada yang misalnya mau membangun
mal yang telepon dari Jakarta (pejabat pusat), ya ada. Biasalah. Yang
harus dimengerti, fungsi pemerintah itu pengendalian. Jadi jangan di los dong. Kalau free fight (tarung bebas),ya yang kecil pasti kalah. Di Solo itu, kalau kita buka total mungkin lima tahun sudah tambah 12 mal.
Cara mengatasi tekanan itu bagaimana?
Kita lihat makro desain sebuah kota. Kalau kita memang ingin kotanya
penuh mal, ya gak apa-apa dipenuhi saja dengan mal. Tapi, kalau di
Solo, kita tidak. Makro desain kita tidak menuju ke situ. Kita sudah
ada blue print kota.Yang sering bikin kota gak karu-karuan ini kan ada blue print,
konsep tata kota, tapi itu tidak diikuti. Bisa ditawar dengan uang,
bisa diubah karena tekanan politik. Itu yang bikin masalah.
Artinya,semua pemimpin semestinya mampu mengimplementasikan aturan itu?
Harusnya ada konsistensi terhadap aturan yang telah kita buat.
Jangan bisa ditawar. Misalnya, sudah ada gambarnya ini hotel di sebelah
barat, kalau hotel mau di sebelah tengah ya harus bilang tidak. Kalau
itu sudah bisa ditawar, akan menjadi kacau. Percuma kita membuat
perencanaan, konsep plan kota, rencana tata ruang. Tidak ada artinya.
Sebenarnya langkah-langkah Anda ini meniru siapa atau konsepnya dari mana?
Saya 21 tahun malang melintang dari kota ke kota, negara ke negara.
Saya melihat, di tempat yang lain itu yang namanya PKL pasti diberi
ruang, diberi tempat. Di Solo sendiri kenapa ada ide-ide seperti itu,
yang paling penting kita mau berbicara dengan para pelakunya. Kita
harus mengerti PKL itu butuh apa, khawatir apa?
Tapi, pandangan atau mindset kita harus positif dulu terhadap
mereka. Kita penuhi kebutuhan mereka sepanjang kita mampu. Dan itu
kembali di depan tadi,kita memandang dia sebagai investor.
PKL sebagai investor, konkretnya seperti apa?
Kita tiap hari bicara masalah pertumbuhan ekonomi, bursa, padahal
itu hanya berapa persen yang berhubungan dengan itu. Sektor riil yang
betul-betul riil yaini, PKL, pasar tradisional, usaha rumah
tangga,usaha mikro. Puluhan juta orang terangkul di situ,hidup di situ.
Bukan dibalik balik, memang itu kewajiban kita. Hanya kemarin cara
pandangnya saja yang keliru menurut saya.
Secara umum untuk membangun Solo seperti itu?
Secara umum seperti itu. Saya selalu seperti itu. Mengajak bicara,
sehingga lapangan saya ketahui, identifikasi problem saya ketahui,
identifikasi masalah saya ketahui, persoalan saya ketahui.
Bisa dijalankan di daerah lain?
Bukan bisa, sangat bisa. Sangat mudah dan sangat bisa. Apanya yang
tidak bisa? Di semua daerah sama persoalannya. Sosial ekonomi sama,
anggaran APBD juga sama. Birokrasinya kurang lebih sama, SDM-nya sama
atau terpaut dikit-dikit. Paling hanya masalah pendekatan budayanya
yang berbeda.
Pendapat Anda tentang beda pandangan antara otonomi daerah membuat baik atau membuat buruk?
Saya kira rekrutmen politik dan rekrutmen pemimpin kita yang harus dibenahi.
Lebih jelasnya?
Ada jenjang karier yang jelas. Misalnya, dari wali kota mau naik
lagi ke gubernur atau ke menteri itu harus ada tahapan yang jelas.
Jangan sampai tahapan ini tidak dipakai, tahu-tahu siapa ini kok
tibatiba jadi menteri. Padahal penguasaan di rakyat, mengenai teritori,
manajemen kota, atau sebuah wilayah belum dilalui. Itu bahaya.
Di mana pun, di Amerika, mesti tahapannya begitu. Kalau memang
sangat istimewa, tidak apa-apa lah meloncat, misalnya dari bupati
menjadi presiden atau menteri. Sedangkan rekrutmen politik itu yang
harus dibenahi oleh parpol.
Anda melihat titik kelemahan pemimpin dalam mengelola wilayah atau negara di mana?
Tergantung leader dan leadership. Itu dua hal yang berbeda.Mestinya rekrutmen seorang leader itu diawasi, saya tidak tahu lembaganya apa,terserah. Track record mestinya di lihat,keluarganya mestinya juga dilihat. Kalau track record jelas, keluarganya baik,berarti silakan masuk. Masak ngurusi keluarga saja tidak bisa masak mau mimpin kota atau sebuah negara?
Bagaimana dengan faktor keberanian atau kemampuan?
Ketegasan dalam menghadapi sebuah masalah itu juga harus dimiliki
pemimpin. Seorang pemimpin yang baik juga harus menyiapkan penerusnya.
Jangan dibiarkan ke masyarakat. Harus menyiapkan, hanya jangan memaksa,
sehingga jangan sampai kita ini sudah sampai SMP, nanti pemimpin baru
muncul dari TK lagi karena tidak senang dengan cara yang kita buat.
Itu yang tidak dimiliki Indonesia sekarang ini?
Termasuk negara ini. Tidak jelas ini. Harusnya, kalau dulu
tahapannya pertanian, kedua mestinya pascapanennya, ketiga mungkin
industrinya digarap. Itu yang tidak dilakukan.
Masing-masing pemimpin kan ingin punya catatan sejarah. Bagaimana itu?
Oo tidak apa-apa. Begini, ini yang kita buat konsep plan kota dan blue print kota.Itu hanya guidance. Pemimpinnya silakan mau memakai gaya apa silakan, tapi 60% memakai guidance itu. Guidance
jangan diobrak-abrik. Peraturan sudah ada,kita siapkan sistem
saja.Sistemnya juga belum sempurna. Itu dievaluasi dan diperbarui oleh
pemimpin berikutnya
sumber:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/406696/44/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar