Dua dekade telah berlalu sejak runtuhnya Uni Soviet. Riuh sorak kaum
borjuis seluruh dunia semakin menggema. Dalam seminar-seminar, mereka
antusias berbicara tentang akhir sosialisme, komunisme, dan Marxisme.
Bahkan tesis buruk Francis Fukuyama mengenai ‘akhir sejarah’ masih
menjadi bahan diskusi penting di kampus-kampus untuk menghujat
sosialisme.
Dua dekade dalam kehidupan manusia memang waktu yang cukup panjang.
Tetapi dalam hitungan sejarah, ini tidak berarti apa-apa. Dua puluh
tahun merupakan waktu yang singkat bagi sejarah. Namun, dalam waktu yang
begitu singkat ini, kita telah disuguhi berbagai transformasi yang
fundamental. Sepertinya keseluruhan sejarah sedang berjalan terbalik.
Kapitalisme, yang dalam kurun waktu satu dekade lebih bersikap congkak,
kini mulai tergoncang.
Untuk memahami keterbalikan ini tidaklah harus menjadi seorang
Marxis. Karena fakta ini benar-benar nyata di depan mata kita. Bahkan
tidak perlu memiliki kecerdasan lebih. Cukup dengan rajin membaca koran
dan menonton televisi mengenai realitas ekonomi dan politik yang tengah
terjadi. Dua puluh tahun yang lalu, borjuasi menjanjikan kepada kita
sebuah dunia yang damai dan makmur – berkat keajaiban sistem pasar
bebas, dan tentu saja, demokrasi.
Semua mimpi borjuasi itu hari ini telah menjadi abu. Tak satu pun
perspektif dari para ahli strategi modal yang tertinggal. Kini kita
diperlihatkan mimpi buruk di mana-mana. Pemulihan ekonomi yang mereka
kerjakan sangat rapuh dan berpotensi runtuh dalam waktu yang singkat
karena peristiwa-peristiwa tak terduga, seperti kenaikan harga minyak.
Kebobrokan kapitalisme juga bisa kita lihat dengan adanya berbagai
perang, terorisme, kekacauan, dan ketidakstabilan. Kapitalisme gagal
meyakinkan dunia. Konstruksi ekonomi, politik, dan tata sosial yang
dibangunnya bergerak sangat anarkis. Kapitalisme memang berhasil
membangun peradaban, tetapi bukan dunia yang damai dan makmur.
Kapitalisme hanya berhasil membangun utopia tentang kemakmuran dan
kedamaian dunia.
Menurut para teoritisi borjuis, Marx keliru ketika meramalkan
mengenai konsentrasi yang tak terelakkan dari modal pada segelintir
tangan. Menurut mereka, data statistik justru menunjukkan sebaliknya.
Kenyataannya, dalam keseluruhan sejarah, konsentrasi modal tidak pernah
sekuat sekarang.
Tuduhan “teoritik” dari para pembela kapitalisme terhadap analisis
Marx terbantahkan oleh fakta, di mana, hari ini, 200 perusahaan besar
terbukti mengontrol seperempat aktifitas ekonomi di seluruh dunia. Fakta
ini sesuai dengan apa yang pernah diramalkan Marx dalam Manifesto Komunis, dan Lenin dalam bukunya Imperialisme.
Gagasan lain dari Marx yang dipersoalkan oleh para kritikus borjuasi
adalah gagasan mengenai meningkatnya kemiskinan di bawah kapitalisme.
Lagi-lagi fakta menunjukkan ketepatan analisis Marx. Menurut Marx,
standar hidup selalu memiliki karakter relatif, bukan absolut. Dan
secara relatif, telah terjadi peningkatan secara kolosal perbedaan
antara yang kaya dan yang miskin, bahkan di negara-negara terkaya di
planet ini, yang dimulai dengan Amerika Serikat.
Tingkat monopolisasi telah mencapai titik ekstrem. Seorang jurnalis
progresif, John Pilger, pernah mengungkap sebuah data tentang tingkat
monopolisasi ini dalam skala dunia, bahwa General Motors memiliki
kekayaan yang lebih besar dibanding dengan keseluruhan ekonomi Denmark,
dan Ford, kekayaannya melebihi keseluruhan ekonomi Afrika Selatan. Masih
banyak data-data spektakuler serupa yang diungkapkan.
Peristiwa faktual ini mengartikan bahwa kesenjangan akibat
kapitalisme mengalami peningkatan pada titik sangat mengerikan.
Nilai-nilai kemanusian sudah melebur dalam modal. Harkat sebuah jiwa
yang bebas dan memiliki hak atas kekayaan sebuah negeri telah
dihancurkan oleh kepentingan para pemilik modal. Gaji besar hanya bisa
diakses oleh segelintir orang. Kelas grassroot (buruh, petani,
miskin kota) dipandang sebagai komoditas yang menguntungkan. Kelas ini
dipaksa untuk menerima jatah yang tak semestinya karena porsi dan
kemampuannya. Kemiskinan akibat penindasan menjadi hal yang rasional.
Dan, kelas yang tertindas ini diperlakukan seperti domba yang tengah
digiring ke tempat pembantaian.
Mengenai perbedaan akut antara yang kaya dan yang miskin ini bukanlah
argumentasi yang mengada-ada. Tiger Woods, seorang pemain golf asal
Amerika, misalnya, menerima bayaran melebihi gaji seluruh karyawan Nike
di Indonesia. Goldman Sachs, sebuah perusahaan investasi dengan 167
patner, mampu menciptakan 2200 juta dolar Amerika per tahun. – sebanding
dengan Tanzania, sebuah negeri yang berpenghuni sekitar 25 juta jiwa.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Pada tahun 2007, majalah terkemuka, Forbes Asia,
mengeluarkan daftar orang terkaya Indonesia. Hasilnya sangat
mengejutkan. Keluarga ketua Partai Golkar dan mantan Menteri
Kesejahateraan Rakyat, Aburizal Bakrie, menempati ranking pertama dengan
total kekayaan 5,4 milyar dolar (sekitar Rp 50 triliun). Kekayaan ini
setara dengan defisit di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
2008 akibat melonjaknya harga minyak mentah dunia.
Ini sebuah tragedi -- krisis kemanusiaan yang serius. Kita tidak bisa
menarik kesimpulan bahwa kapitalisme mampu memecahkan masalah-masalah
yang tengah merundung dunia ini. Jika kita percaya bahwa kapitalisme
mampu menyelesaikan persoalan-persoalan dunia hari ini seperti yang
dijanjikan oleh logika borjuasi, maka kita sama seperti hendak ikut
membunuh jutaan manusia dengan sebuah kebodohan yang memalukan.
Terdapat dua kendala besar yang mencegah kemajuan atas kemanusian dan
peradaban: pertama, kepemilikan pribadi atas kekuatan-kekuatan
produksi, dan kedua, keterbatasan negara-bangsa. Di sini kita memiliki
kontradiksi sentral: di satu sisi, kekuatan-kekuatan produktif pada
skala dunia telah mencapai level perkembangan yang memungkinkan manusia
untuk menyelesaikan semua masalah dan maju ke tingkat budaya dan
peradaban yang lebih tinggi. Di sisi lain, kita melihat dunia yang
tersiksa karena kelaparan, penyakit, dan perang.
Fenomena ini merupakan gejala penyakit yang tak tersembuhkan, sebuah
sistem sosio-ekonomi yang sudah kehilangan pembenarannya untuk ada, yang
tidak lagi mampu memajukan kekuatan-kekuatan produktif dan budaya
seperti yang terjadi di masa lalu, dan telah memasuki fase degenerasi
yang sangat parah – ancaman serius bagi masa depan kemanusiaan.
Meskipun, beberapa tahun lalu, kaum borjuasi Amerika dengan berbagai
cara melakukan berbagai cara dalam rangka memulihkan perekonomian, namun
standar hidup tidak terlihat meningkat. Upah berada pada level terendah
selama beberapa dekade. Pengangguran terus meningkat. Harga minyak
naik. Pemerintah terpaksa mengumumkan pemotongan dana pensiun dan
jaminan sosial.
Fisika klasik mengatakan bahwa setiap aksi akan menyebabkan sebuah
reaksi yang sama dan berlawanan. Hal yang sama juga terjadi dalam
politik. Setelah pesta minum usai, rasa sakit bekas mabuk pasti akan
hinggap dan kepala akan terasa berat. Telah terjadi gejolak yang jelas
di Amerika Serikat. Film dokumenter Michael Moore, Fahrenheit 9/11, film yang mengungkapkan tentang kejadian pra dan pasca tragedi WTC tanggal 9 September, segera memecahkan rekor box-office ketika diputar di seluruh bioskop-bioskop di Amerika. Filmnya tahun lalu, Capitalism: A Love Story, juga populer.
Sudah dua puluh tahun terlewati, di mana sebuah pendulum besar
tiba-tiba berayun ke kanan. Tetapi dampak dari runtuhnya Uni Soviet
masih tetap menyisakan ingatan. Revolusi Oktober 1917 oleh Lenin dan
Trotsky adalah peristiwa besar yang tak pernah dilupakan, meski Stalin
telah merusaknya. Serangan atas standar hidup dan kesejahteraan yang
terjadi di mana-mana hari ini tengah mempersiapkan sebuah ayunan besar
ke arah kiri, ke arah sosialisme.
Melihat kegagalan ini, kaum borjuasi, tentu, tidak tinggal diam.
Berbagai sarana propaganda dibangun. Mereka giat menyerang ide-ide
sosialisme, komunisme, atau Marxisme. Mereka, dengan dukungan biaya yang
besar, dalam forum-forum diskusi, dalam tulisan di koran-koran, dalam
tayangan di televisi-televisi, mengatakan bahwa sosialisme telah mati.
Padahal yang terjadi sebaliknya. Ideologi yang mereka kini anggap mati
malah nampak jelas akan menjadi satu-satunya jalan menuju pembebasan.
Banyak aktivis revolusioner meninggalkan ide-ide sosialisme dengan
cara seperti tikus yang melompat dari kapal yang tenggelam. Mereka
berlalu dengan senjata dan bagasi menuju barisan kontrarevolusi dan
borjuasi – persis seperti tindakan sebagian aktivis kiri Indonesia 98.
Mereka sekarang berada di partai-partai borjuis dengan harapan
memperoleh kekayaan. Sementara, kawan-kawan seperjuangannya ditinggalkan
begitu saja dengan wajah yang tak berdaya. Mereka bertingkah seperti
pencuri. Mereka membantu para pemilik modal merampok kekayaan rakyat
dengan cara privatisasi. Pengkhianatan ini, sama seperti pengkhianatan
yang dilakukan oleh para pemimpin Sosial-Demokrat pada tahun 1914 ketika
mereka mendukung Perang Dunia Pertama dan mengirim jutaan buruh ke
garis depan peperangan untuk dibantai.
Runtuhnya Uni Soviet telah berlalu dalam sejarah. Hal ini perlu
pengakuan obyektif bahwa apa yang tengah runtuh pada saat itu bukanlah
sosialisme, seperti tuduhan dari kaum borjuis dan para intelektual
oportunis guna menyudutkan sosialisme. Keruntuhan Uni Soviet samasekali
bukan representasi dari keruntuhan sosialisme, tetapi karikatur
sosialisme birokratis dan totaliter, yang telah merusak sendi-sendi
ekonomi terencana dan nasionalisasi yang didirikan oleh Revolusi Besar
Oktober 1917.
Tetapi periode setelah runtuhnya Uni Soviet telah banyak memberi data
yang cukup untuk menjawab seluruh argumentasi para pembela kapitalis.
Bagaimana situasi Rusia hari ini, hanya dua dekade setelah
diberlakukannya ekonomi pasar bebas, apakah lebih baik dari sebelumnya?
Samasekali tidak, dan sebaliknya, seribu kali lebih buruk. Ini adalah
realitas dari utopia kapitalis. Dalam enam tahun pertama reformasi
kapitalis, keruntuhan ekonomi terbesar dalam semua sejarah terjadi di
Rusia.
Meskipun banyak yang tidak tahu, dan beberapa memang tidak ingin
tahu, semua peristiwa-peristiwa ini telah diprediksi sebelumnya oleh
seorang teoritikus besar Marxis, Leon Trotsky: “Jatuhnya birokrasi hari
ini, jika tidak diganti dengan kekuasaan sosialis baru, akan menandai
kembalinya sistem kapitalis dengan turunnya bencana ekonomi dan budaya.”
Dari analisa fakta-fakta dan data, solusi sosialis menjadi kebutuhan
yang tak terelakkan. Sosialisme lebih relevan hari ini ketimbang
sebelumnya. Sosialisme bukanlah gagasan yang utopis, seperti yang sering
dituduhkan oleh para teoritikus borjuis. Mereka yang berbicara tentang
utopia sosialisme samasekali tidak memahami situasi yang tengah terjadi
saat ini. Kebangkrutan kapitalisme merupakan fakta sejarah. Kesenjangan,
penindasan, pemiskinan, kerusakan alam, dll. akibat dari sistem
kapitalis, merupakan fakta yang sangat menyedihkan. Tidak ada jalan lain
untuk membebaskan semua ini kecuali dengan sosialisme, kerena jalan
yang lain adalah barbarisme. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh
Marx, “hanya ada dua alternatif bagi kemanusiaan: Sosialisme atau
Barbarisme.”
sumber: http://militanindonesia.org/teori/sosialisme/8089-sosialisme-dan-masa-depan-manusia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar